KETERLIBATAN
PBB DALAM TINDAKAN PENENTUAN NASIB SENDIRI DI IRIAN BARAT TAHUN 1968 – 1969
United Nations
Involvement With The Act of Self-Determination in West Irian (Indonesian West
New Guinea) 1968 to 1969.
Oleh: John Saltford
1.
Pendahuluan
Tulisan ini,
yang umumnya didasarkan atas dokumen-dokumen PBB yang sebelumnya dirahasiakan,
berusaha mengevaluasi kembali peristiwa-peristiwa sekitar pelaksanaan Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA)1 di New Guinea Barat (Irian Barat, atau dikenal dengan
Papua sekarang ini) yang berlangsung pada bulan Juli dan Agustus 1969. Secara
lebih khusus, saya bermaksud untuk menjelaskan peranan PBB di dalam kegiatan
politik itu, dan membahas apakah PBB telah memenuhi tanggung jawabnya terhadap rakyat
Papua.
Keterlibatan
PBB di Irian Barat sebenarnya bermula sejak tahun 1949, yaitu melalui
pembentukan Komisi PBB untuk Indonesia. Komisi ini menyelenggarakan Konferensi
Meja Bundar di Belanda, yang akhirnya menghasilkan persetujuan penyerahan kedaulatan
dari Belanda ke Federasi Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Selama
konferensi tersebut, Belanda bersikeras untuk mempertahankan kedaulatannya atas
Irian Barat – yang oleh Indonesia dicela sebagai upaya Belanda untuk
melanjutkan kolonialismenya, bahkan merupakan “anakronisme yang mengacau1”. Den
Haag bersikeras bahwa orang-orang Papua Barat hanya sedikit atau tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan orang-orang Asia di Indonesia. Den Haag juga
memberikan alasan bahwa dahulu mereka memerintah Irian Barat dari Pulau Jawa
karena tidak praktis untuk menyelenggarakan suatu administrasi pemerintahan dan
mengangkat seorang Gubernur yang terpisah untuk wilayah di mana kehadiran
Belanda hanya sedikit saja.
Sebaliknya,
Jakarta mengklaim bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari Hindia Belanda
(Netherland East Indies), dan karena itu harus menjadi bagian dari Indonesia.
Perundinganperundingan selanjutnya untuk memecahkan persoalan ini dilakukan
pada bulan Desember 1950 tanpa menghasilkan kesepakatan jalan keluar.
Pada
tahun 1957, Indonesia mencoba memasukkan empat resolusi mengenai klaim yang
dimilikinya itu ke PBB, tetapi tidak berhasil. Indonesia kemudian beralih ke
apa yang disebut oleh John Rheinhardt sebagai fase ketiga dan terakhir dari perselisihan
mengenai Irian Barat, yang merupakan suatu kombinasi yang mahir antara
diplomasi dan ancaman untuk menggunakan kekuatan militer2.
Pada tahun 1961
kampanye ini memperoleh perhatian Presiden J.F. Kennedy yang baru terpilih
sebagai Presiden Amerika Serikat. Walaupun Kennedy sebenarnya bersikap
bermusuhan dengan Sukarno, tetapi ia lebih siap dalam mencari solusi terhadap
perselisihan Belanda – Indonesia atas Papua dibandingkan presiden Amerika
Serikat sebelumnya. Para pembuat kebijakan di Washington kuatir dengan
meningkatnya pengeluaran Indonesia untuk meningkatkan kemampuan militernya
dengan dukungan Uni Soviet. Beberapa waktu kemudian, Howard Jones, duta besar
Amerika Serikat di Jakarta menulis:
Sukarno
mengerti taktik dari riilpolitik. Ia ahli dalam menggambarkan dirinya sendiri
sebagai pendatang dan menunggu seseorang untuk menolongnya. Dalam situasi ini,
dengan bantuan Rusia, ia menciptakan ancaman perang yang sesungguhnya – bukan
sekedar gertak sambal3.
Akhirnya Washington
memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk menghindarkan pecahnya perang Belanda
– Indonesia, yang dipicu oleh hal yang tampak tidak relevan ini, adalah dengan
mempengaruhi Belanda untuk menerima suatu kompromi yang di dalamnya mengandung
penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, dengan mengaitkan hal itu dengan
pelaksanaan semacam penentuan nasib sendiri. Sebagaimana yang ditulis oleh
seorang pejabat Amerika Serikat pada bulan Februari 1962:
Saya
tidak bisa menyalahkan Belanda yang meragukan keseriusan Indonesia melaksanakan
plebisit yang sebenarnya dalam lima tahun atau lebih dari sekarang. Tetapi hal
yang penting adalah, bahwa janji Indonesia seperti itu merupakan alat
menyelamatkan muka yang selama ini diinginkan Belanda. Kita harus mengusahakan
agar Belanda menerima hal tersebut.4
Akhirnya,
Den Haag bisa dipengaruhi untuk menerima solusi tersebut. Pada tanggal 15
Agustus 1962, Den Haag menandatangani Persetujuan New York dengan Jakarta5.
Untuk menyelamatkan muka Belanda, wilayah New Guinea Barat tidak diserahkan
langsung ke Indonesia. Tetapi, sebagaimana diatur dalam Persetujuan tersebut,
dibentuklah suatu pemerintahan sementara PBB (UNTEA, United Nations Temporary
Executive Authority) untuk memimpin wilayah tersebut dalam waktu minimum tujuh
bulan. Walaupun tidak ada batas waktu maksimum yang ditetapkan, faktanya adalah
bahwa PBB ke luar pada tanggal 1 Mei 1963 segera sesudah batas waktu minimum
itu dicapai. Di dalam berbagai perundingan atau proses pengambilan keputusan
tidak ada seorang Papua pun yang terlibat.6
Seperti
yang diatur oleh Kesepakatan New York tahun 1962, pemerintahan sementara PBB
ini hanyalah merupakan tahap awal dari suatu proses yang akhirnya harus
memungkinkan penduduk Irian Barat melaksanakan hak-hak mereka untuk menentukan
nasib sendiri.
2.
Situasi pada tahun 1968
Pada bulan Agustus 1968,
suatu tim PBB kembali ke wilayah yang telah diberi nama Irian Barat itu,
dipimpin oleh Fernando Ortiz Sanz, seorang diplomat Bolivia,. Tanggung jawab
tim tersebut menurut Persetujuan New York adalah “membantu, memberi pendapat
dan terlibat” dalam kegiatan penentuan nasib sendiri yang direncanakan akan
dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Ketika
tim PBB yang dipimpin oleh Ortiz Sanz tiba, wilayah Irian Barat telah beberapa
tahun di bawah pemerintahan Indonesia, dan sementara menghadapi masalah-masalah
ekonomi dan politik yang serius. Peter Hastings, salah seorang dari hanya dua
orang wartawan Australia yang diizinkan berkunjung ke daerah itu sejak tahun
1963, memberikan penilaian negatif, terlepas dari dukungannya terhadap
keberlanjutan kekuasaan Indonesia di Irian Barat:
Fakta
yang dengan gampang dilihat adalah bahwa sejak Belanda meninggalkan Irian
Barat, pemerintah Indonesia hanya melakukan sedikit atau bahkan sama sekali
tidak membangun wilayah ini, … [mereka tidak] menjalankan poyek-proyek
pembangunan ekonomi yang substansial untuk orang-orang Papua, atau
[memungkinkan orang-orang Papua melakukan] partisipasi politik yang sebenarnya.
Orang-orang Papua benar-benar kecewa. 7
Kedutaan
Besar Inggris di Jakarta melaporkan bahwa mereka telah memperoleh penjelasan
dari Reynders seorang pejabat konsuler Amerika Serikatyang juga mengunjungi
wilayah tersebut pada awal tahun 1968. Sesudah kembali ke Jakarta pada akhir
Maret, Reynders melaporkan bahwa Indonesia tidak memiliki sumberdaya ekonomi
untuk membangun Irian Barat dengan sepantasnya. Ketika memberikan komentarnya
mengenai kompleksnya masalah yang dihadapi Reynders menulis, “Besarnya
kebutuhan untuk melaksanakan pembangunan yang sebenarnya di wilayah tersebut
adalah, dan akan selalu, berada di luar kemampuan Indonesia.”8 Ia juga percaya
bahwa Indonesia tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan militer untuk menangani
ancaman keamanan yang dilakukan oleh pemberontak “Papua Merdeka”.
Indonesia
telah mencoba segalanya, dari mengebom mereka dengan B-26, sampai menggranat
dan memortir, tetapi keadaan semi-memberontak itu terus menerus ada.
Tindakan-tindakan brutal represif dilakukan oleh Indonesia dari waktu ke waktu
tetapi tidak membuahkan hasil.9
Bahkan
Indonesia juga mengakui secara diam-diam bahwa situasi di Irian Barat suram.
Pada bulan Mei 1968, suatu delegasi tingkat menteri yang dipimpin oleh Sultan
Yogyakarta berkunjung untuk menilai keadaan di Irian Barat. Sesudah kembali ke
Jakarta, delegasi tersebut menjelaskan kepada pers mengenai keberhasilan mereka
menangani berbagai masalah yang mereka identifikasi di wilayah tersebut.
Tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa mereka sangat kaget dengan apa
yang mereka saksikan. Sebuah kawat yang dikirim oleh Kedutaan Besar Inggris
menginformasikan London bahwa
… kunjungan tersebut
umumnya penting dalam memberikan gambaran langsung kepada para anggota kabinet
mengenai kompleksnya persoalan-persoalan ekonomi, dan merupakan bukti bahwa
militer dan penguasa sipil yang memerintah wilayah tersebut tidak populer di
mata rakyat.10
3. Kekuatan
Posisi Indonesia

Persetujuan
tersebut tidak memuat kata-kata penting seperti “referendum” atau “plebisit”.11
Tetapi, Pasal XVII Persetujuan tersebut menetapkan bahwa semua orang dewasa di
Irian Barat berhak untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang
dilaksanakan “menurut praktek internasional.” Walaupun tidak ada definisi yang
diberikan, tetapi frasa ini memiliki arti yang sangat penting terutama apabila
ingin diketahui apakah syarat-syarat sebagaiamana yang diatur dalam Persetujuan
tersebut telah dipenuhi secara sah atau tidak.
Suharto
ternyata mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari terminologi dalam
Persetujuan tersebut yang secara sengaja dibuat kabur. Suharto juga tahu, bahwa
kecuali Cina12, tidak ada kekuatan utama di dunia yang tertarik untuk menentang
posisi Indonesia mengenai Irian Barat. Sejak ditandatanganinya Persetujuan New
York pada tahun 1962, Washington tidak banyak menunjukkan minat mengenai isu
ini. Bahkan, Washington tampaknya menampik saran-saran Belanda dan Australia
untuk lebih “peduli dan lebih memperhatikan” isu-isu yang terkait dengan
pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri tersebut13. Bukti-bukti lebih jauh
mengenai posisi Amerika Serikat ini diberikan oleh Edward D.
Masters dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dalam suatu percakapan dengan seorang
diplomat Inggris pada bulan Juni 1969, Masters mengatakan bahwa Washington
kurang melihat adanya manfaat yang dapat diperolehnya dari hal ini, bahkan bisa
mengakibatkan hilangnya dukungan Jakarta bagi Washington. Lebih jauh ia
menambahkan, bahwa “Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memang dikritik oleh
Senat, tetapi tidak begitu serius.”14
Walaupun
Suharto dengan bengis menghantam kaum komunis Indonesia, Uni Soviet umumnya
tidak tertarik untuk mengritik cara-cara Jakarta menangani Irian Barat,
terutama karena Uni Soviet merupakan sekutu utama Indonesia dalam kampanye
memperebutkan Irian Barat. Memang sejumlah penerbitan Soviet mencela Suharto
mengenai “penipuan terhadap orang-orang Papua yang memerlukan kemerdekaan yang
sesungguhnya,”15 tetapi seperti yang dikatakan oleh seorang pejabat Inggris,
David F.B. Le Breton, terdapat indikasi bahwa [negara-negara] komunis ingin
memperbaiki hubungan dengan [Jakarta], dan untuk alasan tersebut mereka mungkin
memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang akan membuat buruk hubungan mereka
dengan Indonesia pada saat ini.16
Seorang pejabat Inggris
yang lain, I.J.M. Sutherland, pada bulan April 1968 memberikan komentarnya: Kekuatan
posisi Indonesia berada pada fakta … mereka mengetahui bahwa walaupun ada
protes-protes terhadap cara mereka melakukan konsultasi, [tetapi] tidak ada
kekuatan yang berpikir untuk mencampuri …
Saya
memahami bahwa mereka di luar mungkin memperoleh dukungan pers Australia.
Tetapi saya tidak bisa membayangkan bahwa pemerintah Amerika Serikat, Jepang,
Belanda atau Australia mau menempatkan hubungan politik dan ekonominya dengan
Indonesia dalam resiko, hanya karena persoalan prinsip yang melibatkan sejumlah
kecil orang yang sangat primitif.17
Tiga
bulan kemudian, sentimen ini diulang lagi dalam suatu pernyataan Kementerian
Luar Negeri Inggris: Faktanya adalah bahwa tidak ada solusi lain bagi Indonesia
kecuali mempertahankan Irian; tidak ada yang berpikir dalam bentuk lain; dan
tidak ada pemerintah yang akan memprotes sepanjang kesopanan tetap dilakukan.18
Hal
yang lebihp penting adalah bahwa sikap ini juga dimiliki oleh Pemerintah
Australia, satusatunya kekuatan Barat yang memiliki kepentingan langsung (New
Guinea Australia berbatasan dengan Irian Barat). Pada bulan Mei 1968, seorang
diplomat Inggris, Donald Murray, melaporkan bahwa dari sisi pandang Australia,
semakin diam-diam tindakan penentuan nasib sendiri dilakukan tahun depan,
semakin baik.”19
Sesuai
aturan dalam Persetujuan tersebut, sejumlah ahli PBB harus tetap berada di
wilayah Irian Barat sesudah pengambilalihan oleh Indonesia untuk “memberikan
saran dan membantu penguasa dalam persiapan-persiapan umum menjelang
pelaksanaan tindakan penentuan nasib sendiri”. Para ahli seperti ini, dengan
pengalaman beberapa tahun di wilayah tersebut, mestinya merupakan suatu aset
yang sangat berharga bagi Ortiz Sanz ketika ia tiba. Sayangnya, bagian
Persetujuan ini tidak pernah dilaksanakan, dan ia harus menyampaikan hal ini
dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB pada bulan November 1969.20 Jakarta ternyata tidak menanggapi usulan Sekretaris
Jenderal U Thant untuk menempatkan ahli-ahli PBB tersebut, dan sebagaimana yang
dilaporkan, U Thant “tidak bermaksud mempersoalkan hal ini terlalu jauh.”21
4. Kedatangan
Ortiz Sanz

Pada tanggal 23 Agustus, Ortiz Sanz
tiba di Irian Barat. Ia memulai kunjungan 10 harinya yang
meliputi perjalanan sejauh 3.000 mil di wilayah tersebut dengan menggunakan
pesawat udara. Selama kunjungannya itu ia selalu bersama-sama dengan suatu tim
yang terdiri dari delapan orang pejabat Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo
Tjondronegoro, wakil Jakarta untuk masalah-masalah Irian. Sekembalinya, Ortiz
Sanz menulis laporan kepada Sekretaris Jenderal U Thant, di mana ia memuji tuan
rumah Indonesia.
Pemerintah
harus diberi pujian karena majunya pendidikan dasar, proses asimilasi melalui
penggunaan bahasa umum (bahasa Indonesia), integrasi di sekolah dan upaya-upaya
nyata dalam hal pergaulan bersahabat.22
Ia juga menambahkan:
Kita
tahu sejak awal bahwa prinsip “satu orang satu suara” tidak dapat dilaksanakan
di semua tempat di wilayah tersebut, baik karena masalah-masalah lapangan
maupun kurangnya kemajuan sebagian besar penduduk … Kami juga tahu bahwa
pemerintah Indonesia, yang tampaknya tidak terlalu yakin mengenai hasil-hasil
dari konsultasi tersebut, akan mencoba, dengan semua cara yang ada pada mereka,
untuk mengurangi jumlah perorangan, perwakilan dan institusi yang perlu
dikonsultasi.23
Untuk
menandingi gerakan Indonesia yang telah dapat diduga tersebut, Ortiz Sanz
berjanji bahwa ia akan berusaha untuk meningkatkan jumlah orang-orang Papua
untuk terlibat dalam memutuskan isu tersebut supaya, sesuai dengan
kata-katanya, PBB dapat membuktikan bahwa PBB memang telah berusaha “untuk
sedapat mungkin memberikan dasar demokrasi untuk memastikan diketahuinya
keinginan sebenarnya dari masyarakat.”24
Walaupun
perjalanan Ortiz Sanz di wilayah tersebut selama tahun 1968 sangat pendek
waktunya, Indonesia tetap tidak senang dengan kehadirannya. Pada bulan
Desember, mereka menyampaikan protes kepada atasan Ortiz Sanz di New York bahwa
Ortiz Sanz telah menjadi pusat perhatian orang-orang Papua dan telah
menimbulkan suatu “kehebohan tertentu” yang mengganggu “mulusnya
penyelenggaraan” di wilayah tersebut. Benar, bahwa walaupun selalu didampingi
oleh pejabat-pejabat Indonesia, Ortiz Sanz didekati oleh 26 orang Papua yang
berhasil menyerahkan petisi-petisi dan surat-surat yang umumnya mencela
Indonesia dan meminta dilaksanakannya referendum yang adil.
Hal
yang penting adalah bahwa Jakarta juga menolak rencana PBB untuk mengirim 55
orang staf ke Irian Barat. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi 25, tetapi
akhirnya hanya 16 orang staf PBB yang dipekerjakan, termasuk pegawai-pegawai
administrasi. Kalau kita melihat ke belakang, sulit dipercaya bahwa PBB setuju
untuk membatasi jumlah pejabatpejabatnya menjadi begitu sedikit. Apalagi bila
hal ini dibandingkan dengan misi PBB untuk mengorganisasi dan memantau
pelaksanaan referendum pada bulan Agustus 1999 di Timor Timur. Personel PBB di
Timor Timur mencapai sekitar 1.000 orang, termasuk beberapa ratus orang polisi
dan ratusan orang pejabat pemilihan umum. Walaupun tim Ortiz Sanz memiliki
tanggung jawab terbatas untuk “memberikan saran, membantu dan terlibat” dalam
tindakan penentuan nasib sendiri, tetapi tim tersebut bekerja pada suatu
wilayah yang berkalikali lebih luas dari Timor Timur. Di kedua wilayah tersebut
(Irian Barat dan Timor Timur) berlangsung tindakan penentuan nasib sendiri,
tetapi ada perbedaan yang tajam antara upaya yang jujur dan adil untuk memantau
suatu referendum demokratis dengan yang tidak jujur dan tidak adil.
Dalam diskusi-diskusi
awal mengenai metoda yang akan digunakan dalam penentuan nasib sendiri itu,
Ortiz Sanz memberitahu para pejabat Indonesia bahwa walaupun secara resmi ia hanya
dapat menyarankan sistem “satu orang satu suara” yang diterima secara universal,
ia bersedia untuk menyetujui sistem “campuran”. Dengan ini ia bermaksud bahwa
para pemilih di beberapa kawasan perkotaan diperbolehkan untuk memilih
langsung, sementara masyarakat di daerah pedesaan akan tergantung pada suatu
bentuk “konsultasi kolektif.” Ia meminta Jakarta untuk setidak-tidaknya
menyetujui usul ini, karena, seperti yang ia tegaskan, hal tersebut merupakan
persyaratan minimum untuk memuaskan opini publik dunia.25
Tidak
heran bahwa ternyata Indonesia mengabaikan usulan Ortiz Sanz itu, karena ada
bukti bahwa pejabat-pejabat senior Belanda dan PBB telah bersepakat dengan
Indonesia sejak tahun 1963 mengenai metoda penentuan nasib sendiri yang tidak
melibatkan pemilihan langsung oleh penduduk. Pada bulan Mei 1963, Kedutaan
Besar Australia di Washington melanjutkan informasi berikut ini ke Canberra
yang diterimanya dari Amerika:
Belanda
dan Indonesia tampaknya telah bersepakat mengenai jawaban atas pertanyaan
tentang tata cara pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Belanda tampaknya siap
untuk setuju bahwa penentuan nasib sendiri tersebut tidak menggunakan cara
plebisit … Narasimhan [chef de cabinet U Thant berkebangsaan India]
berpandangan bahwa penentuan nasib sendiri dapat dilaksanakan dalam bentuk
konsultasi dengan dewan-dewan lokal dan wakilwakil kampung.26
Setahun
kemudian, Jose Rolz-Bennett, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan-urusan
Politik Khusus yang berkebangsaan Guatemala, memberikan saran yang mirip kepada
Indonesia dalam kunjungannya ke Irian Barat dan Indonesia.27
Dalam
hal kebebasan politik, Indonesia secara khusus diharuskan oleh Pasal XX dari
Persetujuan New York untuk “secara penuh menjamin hak-hak penduduk setempat,
termasuk hak untuk menyampaikan pendapat, hak berpindah dan berkumpul.” Ortiz
Sanz memperingatkan Jakarta bahwa tanpa hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini,
masyarakat internasional tidak akan puas bahwa suatu “penilaian yang jujur dan
benar-benar demokratis telah dilakukan oleh masyarakat Papua.”28 Walaupun begitu, pada saat yang sama ia
memastikan kepada Sudjarwo bahwa Indonesia “memiliki hak absolut untuk
menggunakan semua cara yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan
internal.”29
Padahal,
menurut Persetujuan, Indonesia tidak memiliki hak absolut menurut keinginannya
sendiri, apabila hal tersebut mengganggu hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang
Papua. Dalam jawabannya, Sudjarwo berterimakasih pada Ortiz Sanz yang tidak
mempertanyakan tindakan-tindakan pengamanan yang diambil oleh Indonesia, dan
menambahkan bahwa persoalan-persoalan ekonomi mengakibatkan timbulnya hasutan
dan “banyak masyarakat yang berpikiran sederhana gampang dipengaruhi oleh
propaganda dan hasutan murahan.”30
Apakah nasionalisme
adalah istilah yang tepat atau tidak untuk diterapkan pada aspirasi politik
masyarakat yang mayoritas adalah masyarakat suku-suku di Irian Barat,
kesimpulankesimpulan yang dilaporkan oleh berbagai pengunjung asing pada
dasarnya konsisten satu sama lainnya, yaitu bahwa mayoritas orang Papua tidak
mau diperintah oleh Jakarta.
Sebagai contoh, seorang wartawan Inggris, Garth
Alexander, mengunjungi Irian Barat pada awal 1968 dan sekembalinya dari sana ia
memberikan penjelasan kepada para pejabat Inggris. Mungkin hal yang penting
menonjol dari laporan Alexander adalah konfirmasi yang lebih tegas terhadap apa
yang telah disampaikan kepada kita oleh mayoritas orang-orang Irian Barat …
adalah mereka sangat tidak ingin untuk berintegrasi dengan Republik Indonesia.
Dari semua orang yang ia wawancarai, dan ia menemui antara 300 sampai 400
orang, tidak ada seorang pun yang setuju dengan solusi tersebut. Kesan yang ia
peroleh adalah bahwa orang-orang Papua segan menerima orang-orang Indonesia,
yang mungkin setara dan sebagai konsekuensi langsung dari cara-cara orang
Indonesia memandang hina dan mengecilkan orang-orang Papua.31
Contoh
kedua terdapat dalam laporan yang ditulis oleh Jack W. Lydman dari Kedutaan
Besar Amerika Serikat pada bulan Juli 1969, di mana ia mengutip keterangan
pribadi anggotaanggota tim Ortiz Sanz yang mengakui bahwa 95 persen orang-orang
Papua mendukung gerakan kemerdekaan.32
Tentu
saja, ketika tiba saatnya, akan sangat sulit untuk menilai kepentingan
sebenarnya yang melatarbelakangi sentimen anti Indonesia tersebut karena,
sebagaimana yang Anda ketahui, hanya sejumlah kecil penduduk yang mampu atau
tertarik untuk terlibat dalam aksi-aksi atau bahkan pemikiran-pemikiran
politik.33
Menutup laporannya ia
menambahkan:
Kunjungan
tersebut mengkonfirmasi kesan awal saya … bahwa pelaksanaan isi Persetujuan New
York yang terkait dengan penentuan nasib sendiri “menurut praktek
internasional” memang tidak mungkin dilakukan.34Dalam
jawabannya, Wakil Sekretaris Jenderal Rolz-Bennett setuju dan dan menulis bahwa
“kurangnya kemajuan masyarakat Irian Barat memang sangat nyata.”35
Pengabaian yang
dilakukan oleh Sekretariat PBB terhadap kewajibannya untuk melakukan
usaha-usaha perlindungan minimum, sebagaimana yang diwajibkan dalam Persetujuan
New York, merupakan ciri dari sikap PBB dalam seluruh keterlibatannya menangani
masalah Irian Barat. Lebih dari itu, Washington telah memberikan tugas yang
janggal kepada PBB untuk memberikan selapis tipis respek terhadap penyerahkan
kontrol atas Irian Barat dari satu kekuasaan asing ke kekuasaan asing yang
lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Terrence Markin: Amerika, yang berulang
kali meyakinkan Belanda [sebelum penyelesaian masalah] … bahwa mereka akan
“bertanggung jawab sesuai prinsip-prinsip kami” dengan menegaskan tentang
perlunya dilaksanakan penentuan nasib sendiri yang “sebenarnya dan bukan
dibuat-buat”, ternyata segera sesudah penandatanganan [persetujuan New York]
beralasan bahwa tanggung jawab untuk memastikan bahwa penentuan nasib sendiri
itu berlangsung secara jujur berada pada PBB dan Belanda. Kurang lebih pada
saat yang sama, Belanda mulai kehilangan keinginan untuk memaksakan hal
tersebut … Dan karena Amerika Serikat dan Belanda tidak memaksakan hal
tersebut, maka PBB juga tidak terlalu berminat untuk melakukan yang
seharusnya.36
5. Indonesia
Menolak “Metoda Campuran”
Awal 1969 ditandai dengan menyerahnya
Mandatjan bersaudara, pemimpin pemberontakan dari daerah
sebelah Barat pulau Irian, yang telah berperang melawan Indonesia selama dua
tahun. Walaupun begitu, pada pertengahan Januari, pemberontakan pecah kembali
di mana kurang lebih 2.000 orang Arfak terlibat di bawah kepimpinanan baru
Frits Awom. Jakarta mengerahkan dua batalion infantri dari Sulawesi Selatan.37
Sementara
itu, dalam sebuah pertemuan di New York pada akhir Januari, Sudjarwo
memberitahu Sekretaris Jenderal PBB bahwa Jakarta telah menolak rencana Ortiz
Sanz untuk menggunakan “sistem campuran” bagi pelaksanaan penentuan nasib
sendiri tersebut.38 Walaupun begitu,
kesepakatan Sekretariat PBB dengan Jakarta pada tahun 1963 untuk tidak
melakukan pemilihan langsung menunjukkan bahwa rencana Ortiz Sanz tersebut
mungkin untuk sekedar menunjukkan kepada publik tentang adanya upaya PBB untuk
memastikan suatu bentuk keterlibatan yang demokratis dalam penentuan nasib
sendiri tersebut.
Kemungkinan
yang lain adalah bahwa Ortiz Sanz tidak memperoleh informasi yang memadai dari
Sekretariat PBB, dan tidak menyadari tentang diskusi-diskusi yang pernah
diadakan sebelumnya dengan Jakarta. Dalam kasus ini upaya Ortiz Sanz untuk
memungkinkan keterlibatan orang-orang Papua secara adil dan jujur dilakukannya
tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan U Thant. Bukti mengenai hal ini
muncul dari sebuah surat kabar Indonesia pada bulan Juli 1969, yang melaporkan
bahwa Sudjarwo marah ketika mengetahui bahwa “metoda campuran” itu adalah
usulan Ortiz Sanz dan bukan berasal dari New York.39 Skenario seperti ini mendukung pendapat
mereka yang mengatakan bahwa Ortiz Sanz sebenarnya lebih sebagai korban
berbagai manuver di New York dan Jakarta ketimbang seorang partisipan yang
tidak bisa dipercaya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sir Patrick Shaw, Duta
Besar Australia di PBB, pada bulan April 1968 sesudah bertemu dengan Ortiz
Sanz, bahwa “Ortiz Sanz adalah seorang yang memiliki keinginan baik dan
integritas, tetapi saya tidak yakin bahwa ia memahami tentang lingkungan di
mana ia bekerja di Irian Barat.”40
Dalam
pertemuan-pertemuan antara Ortiz Sanz dengan pejabat-pejabat Indonesia pada
bulan Februari, Sudjarwo menjelaskan metoda yang telah diputuskan oleh penguasa
Indonesia untuk
digunakan. Pilihan yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah memperbesar
ke-8 dewan daerah yang sudah ada di Irian Barat dan menciptakan badanbadan
musyawarah khusus di mana masing-masing badan tersebut akan mengambil keputusan
bersama tentang apakah akan tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak.41 Dewan-dewan daerah yang sudah ada ini
diciptakan oleh Jakarta sejak Jakarta mengontrol Papua tahun 1963 dan
keanggotaannya dipilih oleh penguasa. Ortiz Sanz tidak bisa berbuat banyak,
kecuali meminta informasi mengenai tiap anggota dewan tersebut untuk
membantunya memahami sejauh mana para anggota dewan tersebut mewakili
masyarakat. Sudjarwo setuju, tetapi informasi itu tidak pernah diserahkan.42
Tidak
lama sesudah itu, Sudjarwo memberikan Ortiz Sanz informasi lebih lanjut tentang
proses seleksi yang akan digunakan untuk memilih tambahan anggota badan-badan
musyawarah tersebut. Kelompok pertama dipilih oleh organisasi-organisasi
sosial, politik dan budaya. Kelompok kedua terdiri dari kepala-kepala suku
“tradisional” yang dipilih oleh para anggota dewan yang sudah ada, dan kelompok
ketiga dipilih oleh masyarakat.43
Sebagai
akibatnya, kesempatan bagi keikutsertaan masyarakat secara adil hanya tersedia
pada kelompok ketiga. Walaupun begitu, dalam kenyataannya metoda untuk memilih
tambahan anggota ini berarti bahwa penguasa Indonesia dan dewan-dewan daerah
yang dipilih oleh penguasa Indonesia tersebut memiliki kontrol yang ketat
terhadap seluruh proses seleksi terhadap pembentukan akhir “dewan musyawarah”.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ortiz Sanz dalam laporan akhirnya, Sudjarwo telah
memberitahu kepadanya bahwa, “Sejumlah kecil orang-orang itu – yang mungkin ada
– yang tidak setuju mempertahankan Irian Barat sebagai bagian dari Republik
Indonesia … tidak terorganisasi ke dalam kelompok-kelompok atau partai politik
yang sah di Irian Barat”.44
6. Petisi-petisi
Untuk
membenarkan metoda yang diusulkan untuk menentukan respon orang-orang Papua
terhadap kekuasaan Indonesia, Jakarta secara konsisten mengklaim bahwa sebagian
terbesar rakyat Papua memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia dan tidak
menginginkan penentuan nasib sendiri dilakukan. Dalam laporan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditulis bahwa pendapat ini didasarkan atas ratusan
pernyataan mendukung yang mereka terima dari orang-orang Papua.45
Walaupun begitu, secara
pribadi Sudjarwo tidak senang dengan sejumlah petisi antiIndonesia yang dikirim
ke Ortiz Sanz yang kemudian diteruskan kepadanya. Pada suatu ketika mana ia
malah memprotes Sekretaris Jenderal PBB bahwa petisi-petisi tersebut mulai
membuat militer Indonesia tidak senang.46
Dalam
laporan akhirnya ke Majelis Umum PBB, Ortiz Sanz menulis bahwa ia telah
menerima 179 petisi selama ia berada di Irian Barat, baik yang mendukung maupun
tidak mendukung Indonesia. Mengenai kelompok pertama – petisi-petisi yang
mendukung kedaulatan Indonesia di Irian Barat – ia mengatakan bahwa
petisi-petisi tersebut berasal dari dewan-dewan daerah dan
organisasi-organisasi yang dikenal secara formal. Petisi-petisi tersebut,
menurut Ortiz Sanz, ditulis oleh mereka yang memahami politik dan
berpendidikan. Tidak pernah di dalam laporannya itu ia mempertanyakan apakah
petisi-petisi tersebut adalah pandangan yang sejujurnya atau adalah hasil
tekanan Indonesia.47 Sebaliknya, Ortiz Sanz mengabaikan petisi-petisi
anti-Indonesia, dan menyatakan bahwa petisi-petisi tersebut sering sulit
dimengerti dan biasanya anonim.
Lebih
penting lagi, sebagaimana yang disampaikannya dalam laporan resmi ke Majelis
Umum, bahwa lebih dari separuh petisi-petisi yang diterimanya adalah
pro-Indonesia.48 Perlu dipertanyakan mengapa ia menulis seperti ini, karena
informasi tersebut tidak benar. Dalam arsip PBB di New York, terdapat 156 dari
179 petisi tersebut yang tercatat diterima sampai tanggal 30 April 1969. Dari
jumlah tersebut, 95 anti-Indonesia, 59 pro-Indonesia dan dua netral.49
Dengan
demikian, andaikata ke-23 petisi yang hilang tersebut seluruhnya pro-Indonesia
sekalipun, maka hal ini berarti bahwa lebih dari separuh petisi tersebut tetap
bersifat “antiIndonesia”. Bahkan, Ortiz Sanz secara pribadi mengaku bahwa
banyak petisi yang diterimanya pada minggu-minggu terakhir menentang Indonesia,
dengan demikian masuk akal untuk disimpulkan bahwa paling tidak 60 persen
petisi yang disampaikan ke PBB adalah menentang Indonesia dan mendukung
dilaksanakannya referendum. Adalah tidak realistis untuk menyimpulkan bahwa
Ortiz Sanz hanya membuat kesalahan, karena deskripsi tiap petisi diketik dengan
jelas dan karenanya suatu daftar dapat dengan mudah ditambahkan. Entah Ortiz
Sanz sengaja memilih untuk mengelabui Majelis Umum PBB atau ia disuruh
melakukan hal seperti itu oleh U Thant.
Siapa
pun yang bertanggung jawab, hal tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa
telah terjadi suatu kerjasama antara para pemimpin PBB dengan Indonesia untuk
melegitimasi pengambilalihan Irian Barat oleh Indonesia dengan mengabaikan
hak-hak orang Papua yang kemudian kehilangan hak-hak politiknya, walaupun
dijamin oleh Persetujuan New York.
7. Tahanan
Politik dan Hak-hak Politik
Bukti-bukti
lebih lanjut mengenai persengkongkolan PBB dan Indonesia dapat dilihat dari
surat menyurat antara Ortiz Sanz dengan Sudjarwo mengenai permasalahan tahanan
politik. Walaupun Ortiz Sanz mengakui bahwa Persetujuan New York mensyaratkan
bahwa setiap tahanan politik harus dilepaskan, ia memberitahu Jakarta bahwa ia
juga mengakui hak Jakarta untuk menangani secara berbeda mereka yang disebutnya
sebagai “anti-negara.” Ia bahkan lebih jauh menyarankan bahwa lebih baik mereka
yang membuat kekacauan itu dipindahkan ke luar wilayah sebelum penentuan
pendapat rakyat dilaksanakan.50
Pada
bulan Maret 1969, Belanda mendorong U Thant untuk mempertimbangkan pengiriman
suatu pasukan ekspedisi PBB untuk memastikan bahwa pemilihan tersebut dapat
dilakukan tanpa intimidasi militer Indonesia.51
Walaupun begitu, Sekretaris Jenderal PBB menentang dan menolak
argumentasi Belanda yang mengatakan bahwa pengiriman seperti itu dibolehkan
oleh Persetujuan New York. Ortiz Sanz memberikan komentar, dan mungkin ia
benar, bahwa hal tersebut hanyalah taktik Belanda untuk mengklaim bahwa mereka
setidaktidaknya telah berusaha untuk melindungi orang-orang Papua.52 Selain
itu, Jakarta sudah pasti akan menolak pengiriman pasukan seperti itu.
Walaupun
begitu, Ortiz Sanz terus berusaha untuk memasukkan suatu kandungan demokrasi ke
dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Pada tanggal 18 Maret, ia
mengeluarkan siaran pers di mana ia menjelaskan bahwa metoda yang dipilih
Indonesia hanya dapat diterima apabila memenuhi tiga persyaratan berikut ini:
1. Bentuk akhir dewan
musyawarah harus terdiri dari keanggotaan yang representasinya cukup luas.
2. Dewan musyawarah
harus mewakili semua lapisanpenduduk.
3. Anggota-anggota baru
dewan tersebut harus secara jelas dipilih oleh masyarakat.
Ia
mengakhiri siaran persnya itu dengan menyatakan bahwa Jakarta telah memberikan
jaminan kepadanya bahwa persyaratan-persyaratan itu akan dipenuhi.53 Tidak jelas apakah deklarasi ini juga
disebarluaskan di kalangan orang-orang Papua, tetapi apabila penguasa tidak
secara aktif bekerjasama untuk menyebarkan siaran pers ini maka tidak mungkin
orangorang Papua mengetahui adanya syarat-syarat ini.
8. Protes Orang Papua dan Persiapan Indonesia
Pada
tanggal 11 April, Dewan Daerah bertemu untuk secara resmi menerima metoda yang
dipilih Jakarta bagi pelaksanaan penentuan nasib sendiri; walaupun mereka
dengan loyal menegaskan bahwa kegiatan itu sesungguhnya tidak perlu, dan bahwa
Irian Barat akan selalu menjadi bagian dari Indonesia.
Pada
hari yang sama, sekelompok orang Papua berkumpul di luar kediaman Ortiz Sanz di
Jayapura untuk meminta dilaksanakannya referendum yang adil. Ortiz Sanz
berbicara di depan kerumunan ribuan orang itu dan meminta mereka bubar, serta
meyakinkan mereka bahwa PBB akan terus berusaha memastikan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan mereka dipenuhi. Segera sesudah itu ia menghubungi U Thant
untuk memberitahu bagaimana ia telah berhasil mempengaruhi tentara Indonesia
untuk tidak mengintervensi. Ia menambahkan:
Hasil
dari insiden ini telah menunjukkan untuk pertama kali di Irian Barat mengenai
kemungkinan dilangsungkannya demonstrasi-demonstrasi damai oleh masyarakat, dan
ada niat-baik yang nyata dari para komandan dan perwira militer Indonesia.
Segala sesuatu tenang.54
Walaupun
begitu, dua bulan kemudian, ia terpaksa mengubah laporan positifnya itu dan
memberitahu Sekretaris Jenderal bahwa paling tidak 43 orang telah ditangkap dan
ditahan tanpa sepengetahuannya sesudah demonstrasi-demonstrasi
berlangsung.55 Dalam pada itu, berbagai
upaya PBB untuk mempengaruhi Indonesia terus gagal.
Pada
pertengahan bulan April, Ortiz Sanz memberitahu Rolz-Bennett bahwa Jakarta
telah memutuskan anggotaanggota baru Dewan-dewan musyawarah Kabupatenakan
ditetapkan melalui pembentukan panitia ad-hoc, dan bukannya dipilih oleh
masyarakat sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya. Hal ini jelas
merupakan suatu penghinaan terhadap Ortiz Sanz, karena dilakukan hanya beberapa
waktu sesudah ia memberikan pernyataan terbuka mengenai pentingnya dilakukan
pemilihan untuk menentukan keanggotaan dewan musyawarah. Dalam jawaban yang
agak gusar, Rolz-Bennett menulis:
Reaksi
awal kami adalah bahwa Indonesia mungkin terlalu jauh bertindak terutama dengan
keputusannya untuk memperoleh tambahan wakil-wakil yang disarankan – yang sebenarnya
berarti dipilih – oleh suatu panitia ad-hoc. Teman-teman Indonesia kita harus
menyadari, sebagaimana yang telah Anda katakan kepada mereka berulang kali,
bahwa metoda penentuan nasib sendiri tidak boleh lepas dan berubah begitu
radikal dari norma-norma representasi politik. Tentu tidak melampaui kepandaian
manusia untuk merencanakan suatu metoda di mana tambahan wakil-wakil dapat
dipilih atau diseleksi oleh masyarakat mereka sendiri, dengan demikian
memberikan suatu kesempatan kepada masyarakat umum untuk terlibat dalam
tindakan menentukan nasib sendiri.56
9. Pemberontakan
Kekuatiran
mulai berkembang pada pertengahan April ketika pemberontakan yang meluas
meletus di kawasan pegunungan tengah Papua di sebelah Barat. Lapangan-lapangan
udara disabotase, dan pejabat-pejabat serta personel militer Indonesia
meninggalkan wilayah itu. Pada tanggal 23 April, 90 orang polisi Papua yang
bersenjata melakukan desersi dan bergabung dengan OPM.57 Pada tanggal 27 April,
sebuah pesawat yang membawa Jenderal Sarwo Edhie, Panglima Kodam setempat,
ditembaki ketika sementara melintasi wilayah itu.
Dua
orang penumpang, termasuk seorang inspektur polisi, terluka. Sebagai balasan,
Jenderal Sarwo Edhie memerintahkan pesawat-pesawat, termasuk paling tidak
sebuah pesawat pengebom B-26, untuk memberondong Enarotali, dan pada tanggal 30
April, tentara payung Indonesia dari Jawa Barat diterjunkan. Serangan balik
Indonesia mengakibatkan sekitar 14.000 orang melarikan diri ke hutan sementara
tembak menembak dengan OPM terus berlangsung.58 Terjadi demonstrasi-demonstrasi
kaum nasionalis Papua di Arso, sementara di dekat Merauke dan semenanjung
Kepala Burung tentara Indonesia diserang. Begitu pula pemberontakan Arfak yang
dipimpin oleh Awom terus berlanjut.
Pada
awalnya Ortiz Sanz mengabaikan pemberontakan ini, bahkan menginstruksikan
stafnya untuk tidak melibatkan diri. Kepada pers ia menyampaikan bahwa keamanan
internal adalah masalah Jakarta dan bukan persoalannya.59 Respon seperti ini
tidak diterima oleh atasannya, dan Rolz-Bennett langsung menginstruksikan Ortiz
Sanz untuk mengumpulkan informasi selengkapnya dari Indonesia tentang adanya
gangguan keamanan tersebut.60 Karena
tekanan New York, Ortiz Sanz melakukan kunjungan singkat ke Irian Barat.
Sekembalinya ke Jakarta ia menyatakan kepada pers bahwa semuanya sudah tenang
kembali.61 Tetapi sebenarnya hanya sedikit daerah yang dikunjunginya, bahkan
kadang-kadang ia hanya sampai di lapangan terbang. Bahkan, pernyataan persnya
itu ditulisnya sebelum ia kunjungannya itu dilakukan.62
Walaupun
begitu, dalam kesempatan pribadi, ia menunjukkan bahwa ia cukup kuatir dengan
situasi di Papua pada umumnya, sehingga pada pertengahan bulan Mei ia meminta U
Thant untuk menunda pelaksanaan penentuan nasib sendiri tersebut selama tiga
atau empat bulan “untuk memberikan kita kesempatan terakhir memperbaiki
kondisi-kondisi demokrasi.”63 Tetapi sekretariat tidak antusias dengan usulan
ini, dan Rolz-Bennett menjawabnya dengan menanyakan “apakah memang memungkinkan
untuk mengubah secara signifikan kondisi di wilayah Irian Barat dalam jangka
waktu yang disarankan itu.”64
10. Tekanan PBB terhadap Indonesia
Sementara
Jenderal Sarwo Edhie berusaha menekan pemberontakan di Irian Barat, PBB terus
mendorong Jakarta untuk bersikap moderat terhadap pelaksanaan penentuan nasib
sendiri. Sebuah laporan PBB dalam bulan Mei mengenai pertemuan antara U Thant
dengan Duta Besar Indonesia berisi: Sekretaris Jenderal menekankan pentingnya
memilih anggota-anggota baru sedemikian rupa sehingga anggota-anggota baru itu
betul-betul mewakili masyarakat konstituennya. Hal ini akan menjadi batu ujian
dalam penilaian kejujuran dan validitas seluruh kegiatan yang akan dilakukan
oleh seluruh negara anggota PBB.65
Tetapi
pada saat U Thant menyampaikan permohonannya ini, Indonesia telah mulai memilih
tambahan anggota baru tanpa menginformasikannya kepada Ortiz Sanz dan timnya
yang seharusnya bertugas memantau seluruh kegiatan. Hal ini semakin
mempermalukan wakilwakil PBB, terutama pers asing mulai melaporkannya.
Ortiz
Sanz sekali lagi menyampaikan permohonannya kepada Sudjarwo dengan menyatakan:
Saya menekankan tentang pentingnya melaksanakan tindakan penentuan nasib
sendiri dengan benar, karena saya percaya Indonesia bermaksud untuk mencapai
penyelesaian akhir, bukan penyelesaian sementara, terhadap masalah Irian Barat.
Pemerintah Indonesia harus memperhitungkan resiko ini dan memberikan kesempatan
kepada mereka yang beroposisi untuk menyampaikan pendapatnya. Ini adalah
kesempatan bagi penguasa Indonesia untuk mengadopsi tindakan-tindakan yang
berani dan murah hati.66
Akhirnya,
karena ditekan oleh Rolz-Bennett, Ortiz Sanz terpaksa menyurat ke Sudjarwo
untuk memintanya menyelenggarakan ulang beberapa pemilihan agar PBB dapat hadir
dan memantau keseluruhan prosesnya. Yang mengherankan, Sudjarwo ternyata
setuju,67 dan antara tanggal 26 Juni dan 5 Juli, suatu seleksi pemilihan yang
baru berlangsung dengan dihadiri oleh pejabat-pejabat PBB dan, sekali-sekali,
oleh pers asing. Terlepas dari semua hal ini, sesungguhnya pejabat-pejabat PBB
hanya dapat menyaksikan pemilihan 195 dari 1.022 orang wakil-wakil dewan
musyawarah, yang akhirnya mengambil bagian dalam penentuan nasib sendiri.
Walaupun
begitu, hal tersebut merupakan kali pertama dalam seluruh proses di mana
tekanan PBB mempunyai dampak, dan Ortiz Sanz menyampaikan hal tersebut panjang
lebar dalam laporannya ke Majelis Umum. Tetapi, ia sama sekali tidak
menyampaikan deskripsi mengenai pertemuan-pertemuan tersebut, dan alasan tidak
dimasukkannya hal-hal dimaksud menjadi jelas kemudian sebagaimana tertera dalam
laporan-laporan beberapa wartawan asing yang hadir dalam kesempatan itu, dan
oleh masyarakat setempat. Salah satu laporan itu disampaikan oleh Hugh Lunn,
seorang wartawan Australia, yang menyaksikan pemilihan di Biak, yang juga
dihadiri oleh Ortiz Sanz.
Menurut
Hugh Lunn, dalam pemilihan tersebut sejumlah orang Indonesia mendekati kumpulan
orang-orang Papua yang tidak mengatakan apa-apa, dan mereka memilih enam orang
yang telah diseleksi sebelumnya. Hugh Lunn kemudian melaporkan bahwa tentara
Indonesia menangkap tiga orang Papua yang memperlihatkan plakat yang berisi
tulisan menuntut dilaksanakannya plebisit. Seorang wartawan meminta Ortiz Sanz
untuk mengintervensi, tetapi ia mengatakan bahwa kehadirannya hanya untuk
memantau.68
Apabila
dipertimbangkan kepentingan PBB dalam pemilihan-pemilihan itu, yang
sesungguhnya merupakan ujian apakah proses tersebut berlangsung demokratis atau
tidak, maka tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa upaya-upaya PBB jelas tidak
berhasil. Bahkan dalam beberapa pemilihan yang disaksikan oleh PBB sendiri
tampak jelas bahwa demokrasi yang sebenarnya tidak terjadi dalam
kegiatan-kegitan tersebut. Gagalnya upaya Ortiz Sanz untuk menciptakan
demokrasi membuat ia terpaksa memanfaatkan waktunya yang tersisa, bekerjasama
dengan U Thant dan Jakarta, merampungkan kegiatan penentuan nasib sendiri
dengan kontroversi sekecil mungkin sepanjang dimungkinkan oleh keadaan di
lapangan.
11. Kerjasama PBB dan Indonesia
Kepentingan
yang melekat dengan hal ini, dan yang kemudian menjadi satu-satunya kepedulian
Ortiz Sanz, tampak dengan jelas dalam suratnya pada kepada Rolz-Bennett
tertanggal 14 Juni. Dalam surat tersebut Ortiz Sanz menyatakan bahwa Sudjarwo
“tidak saja peduli tetapi juga kuatir” tentang dua masalah penting. Yang pertama
adalah sikap pemerintah Belanda mengenai metoda yang dipilih oleh Indonesia
untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Yang kedua adalah isi dari laporan
akhir yang akan disampaikan oleh Ortiz Sanz ke Majelis Umum PBB. Mengenai hal
yang pertama Ortiz Sanz menyatakan berikut ini.
Saya
menyarankan kepadanya secara pribadi, juga dengan bersikap empati, bahwa
pemerintahannya harus mencoba untuk memperoleh jaminan bahwa pemerintah Belanda
tidak akan menunjukkan keraguannya, atau mempersoalkan, penentuan nasib
sendiri. Ini akan mencegah perdebatan sengit di dalam persidangan Majelis Umum.
Mengenai laporan akhir
yang akan disampaikannya, Ortiz Sanz menyatakan:
sebagai wujud
kelanjutan kerjasama saya, saya menawarkan untuk memperlihatkan kepada
Sudjarwo, dalam hubungan pribadi, bagian-bagian dari laporan tersebut yang
mungkin kontroversial atau berbeda dengan dengan laporan [Indonesia].69.
Surat
ini sangat penting karena dua alasan. Pertama, surat ini menunjukkan bahwa
Indonesia sungguh-sungguh kuatir tentang kemungkinan kritik internasional
terhadap kesengajaan mereka mengingkari hak-hak orang Papua untuk menentukan
nasib sendiri yang sebenarnya. Selain
itu, dan lebih penting lagi, surat ini adalah bukti yang tidak terbantahkan
mengenai keterlibatan langsung Ortiz Sanz dan Jakarta dalam tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk meminimalkan dampak protes internasional terhadap
pelanggaran mendasar atas Persetujuan New York tersebut.
Walaupun
tidak mengherankan apabila suatu negara yang berusaha melindungi “kepentingan
nasional”-nya bersikap bermuka dua dan sinis seperti ini, tetapi adalah sesuatu
yang sama sekali tidak bisa diterima apabila tindakan bermuka dua dan sinisisme
seperti itu justru dimiliki oleh seorang wakil Sekretaris Jenderal PBB.
Di
lain pihak, Sekretaris Jenderal PBB nampaknya juga memberikan saran-saran yang
sama terhadap Indonesia. Dalam sebuah pertemuan pribadi di New York pada
tanggal 20 Juni, U Thant memberi tahu Sudjarwo, bahwa: Pemerintah
Indonesia harus rajin berkonsultasi dengan anggota-anggota Majelis Umum PBB
untuk mencegah dimasukkannya suatu draf resolusi yang menyentuh substansi
masalahmasalah Irian Barat.70
Pada
minggu-minggu terakhir menjelang pelaksanaan penentuan nasib sendiri, Ortiz
Sanz memberitahu Rolz-Benett bahwa situasi hak-hak asasi manusia di Papua
bertambah jelek, walaupun ia terus menerus meminta Jakarta untuk menahan diri.
Ia bahkan dua kali meminta pihak Indonesia untuk mengatur pertemuan dengan
Presiden Suharto agar ia dapat menyampaikan kekuatirannya. Tetapi, sebagaimana
yang diakui dalam laporan akhirnya, Presiden Suharto terlalu sibuk untuk
ditemui.71
12. Pelaksanaan Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera)
Pada
tanggal 14 Juli, Pepera mulai dilaksanakan di Merauke dengan pertemuan 175
orang anggota “Dewan Musyawarah”. Selain Ortiz Sanz dan timnya, sejumlah besar
politisi Indonesia dan militer juga hadir. Juga hadir Duta-duta Besar
Australia, Belanda dan Thailand, bersama-sama dengan para wartawan Indonesia,
pejabat-pejabat, politisi dan sejumlah kecil wartawan asing.72
Sebagaimana
halnya dengan semua pertemuan Pepera, anggota-anggota Dewan Musyawarah selama
beberapa minggu telah dipisahkan dari masyarakat di bawah pengawasan penguasa.
Beberapa anggota Dewan Musyawarah tersebut mengklaim bahwa mereka telah diancam
dan disogok oleh Brigadir Jenderal Ali Murtopo, Komandan OPSUS (Operasi Khusus)
pada minggu-minggu ketika mereka dikarantina itu. Murtopo dipilih oleh Presiden
Suharto untuk ke Irian Barat dengan suatu tim yang terdiri dari taruna-taruna
militer dan pelatih-pelatihnya dalam rangka mensukseskan kampanye “hati dan
pikiran” dan “mensukseskan” pelaksanaan penentuan nasib sendiri.
Menurut
Pendeta Hokujoku, yang adalah seorang anggota Dewan Musyawarah Jayapura,
Murtopo memperingatkan mereka bahwa militer Indonesia tangguh dan tidak akan
mentoleransi mereka yang pendapatnya berbeda. Dengan mengejek ia menyarankan,
bahwa kalau mereka ingin memiliki negara sendiri mereka bisa meminta sepotong
bulan kepada Amerika Serikat. Hokujoku juga menerangkan bagaimana orang-orang
Papua yang dipilih untuk berbicara dalam pertemuan tersebut diberikan instruksi
yang tegas tentang apa yang harus dikatakan dan dipaksa oleh penguasa-penguasa
Indonesia untuk melatih pidato-pidato mereka.73
Di
Merauke dan di tempat-tempat lain, tugas anggota-anggota Dewan Musyawarah,
sebagaimana yang diatur oleh Jakarta, adalah untuk mencapai kesepakatan dengan
menggunakan suatu metoda yang didefinisikan dengan tidak begitu jelas oleh
Indonesia, yang disebut dengan musyawarah (konsensus/deliberasi). Dalam
kenyataannya yang terjadi adalah sejumlah pejabat senior Indonesia berpidato di
depan para anggota Dewan Musyawarah di Merauke dan mengatakan pada mereka bahwa
mereka harus, untuk berbagai alasan, tetap bergabung dengan Indonesia.
Kemudian, Ortiz Sanz menyampaikan suatu pernyataan singkat tentang pentingnya
tugas mereka dan mengingatkan mereka bahwa mereka berbicara tidak saja untuk
diri mereka tetapi juga untuk semua orang Papua. “Jangan ragu-ragu untuk
menyampaikan kebenaran dan patuhlah kepada keinginan masyarakat Anda sendiri.”
Sesudah
pidato-pidato itu disampaikan, 20 orang anggota Dewan Musyawarah berdiri satu
demi satu dan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mirip satu sama lain.
Mereka menegaskan bahwa mereka menganggap diri mereka telah menjadi bagian dari
Indonesia sejak tahun 1945, mereka mengakui satu negara, satu konstitusi, satu
bendera, dan satu pemerintah, yaitu Indonesia. Sesudah pernyataan-pernyataan
ini, Pimpinan Sidang, yaitu seorang pejabat pemerintah, meminta 155 anggota
yang lain untuk berdiri apabila mereka setuju dengan sikap rekan-rekan mereka
tadi. Semua berdiri.
Menteri
Dalam Negeri Indonesia kemudian menutup pertemuan dengan berterimakasih kepada
para anggota tersebut atas keputusan yang mereka ambil dan menjanjikan bahwa
Indonesia akan memenuhi kewajibannya untuk membangun Irian Barat secara ekonomi
dan dalam bidang-bidang yang lain. Ia berjanji bahwa Irian Barat akan diberikan
otonomi dalam mengatur, mengkoordinasikan dan melaksanakan tugas ini.74
Hari
berikutnya, Ortiz Sanz mengadakan konferensi pers di mana ia membela sistem
musyawarah Indonesia sebagai “praktis”. Ia kemudian menegaskan bahwa
kemerdekaan nasional bagi Irian Barat sangat sulit dicapai.75 Surat kabar
Sydney Morning Herald menerbitkan sebuah editorial pada tanggal 14 Juli yang sangat
kritis terhadap seluruh kegiatan itu dan kelakuan pemerintah Australia di
Canberra:
Tahapan
terakhir pengkhianatan terhadap orang-orang Irian Barat dijadualkan untuk
dimulai hari ini. … Tidak ada kata-kata yang diputarbalikkan yang mampu
menggantikan fakta buruk bahwa hak-hak orang-orang sederhana di pulau itu, yang
dilindungi oleh suatu persetujuan internasional di bawah pengawasan PBB, untuk
memutuskan masa depan politiknya sendiri, dengan sengaja dan terbuka telah
dicurangi … Di mana di dunia sekarang ini bisa diterima suatu pernyataan bahwa
ada suatu masyarakat yang terlalu primitif untuk merdeka?76
Walaupun
ada kritik seperti ini, pertemuan yang lain tetap dilangsungkan sesuai rencana,
di Wamena, pada tanggal 16 Juli dengan hasil yang sama.77 Pertemuan
ketiga berlangsung pada tanggal 19 Juli di Nabire di wilayah Pegunungan Tengah
sebelah Barat. Menurut wartawan Brian May, akibat pemberontakan yang baru saja
berlangsung, daerah itu kosong dari penduduk setempat sehingga penguasa
Indonesia harus membawa orang-orang Papua dari daerah lain untuk memainkan
peranan sebagai anggota Dewan Musyawarah.78
Walaupun begitu, menurut wartawan yang lain, Hugh Lunn, seorang anggota
Dewan Musyawarah berhasil mengontaknya dan menanyakan apakah Lunn bisa menjamin
bahwa tidak akan ada pembalasan apabila 100 orang anggota berbicara menentang
Indonesia dalam pertemuan tersebut. Lunn menjawab bahwa ia tidak bisa
menjanjikan hal itu. Pada saat yang sama, seorang anggota yang lain memberikan
catatan kepadanya bahwa semua anggota telah disogok. Selain itu, seorang
anggota lainnya lagi berusaha untuk menyerahkan catatan kepada tim PBB, tetapi,
menurut Lunn, mereka menolak untuk menerima catatan itu.79 Walaupun semua hal ini terjadi, tetapi
laporan resmi Ortiz Sanz tidak memuat tentang adanya pemberontakan atau tuduhan
adanya penyogokan.80
Pada
hari yang sama, Jakarta mengumumkan bahwa sesuai dengan hasil-hasil yang telah
dicapai, rakyat Irian Barat telah memutuskan untuk tetap bergabung dengan
Indonesia. Dengan demikian, pertemuan-pertemuan berikutnya tidak lebih dari
sekedar konfirmasi dari hasil tersebut.81
Dua pertemuan berikutnya dilakukan di Fak-Fak dan Sorong, juga
menggunakan format yang sama seperti yang lain, dengan pidato-pidato yang sama
dan janji kecintaan dan loyalitas yang sama kepada Jakarta, yang disampaikan
oleh beberapa orang Papua yang telah dipilih untuk berbicara.
Di
Manokwari, sementara Dewan Musyawarah memilih, pemuda-pemuda Papua di luar
ruang pertemuan menyanyi “[berdiri] sendiri, [berdiri] sendiri”. Sebagai
jawaban, tentara Indonesia melempar mereka ke bak truk-truk, dan dibawa
meninggalkan tempat itu. Pada suatu ketika, Hugh Lunn, satu-satunya wartawan
asing yang ada di situ, diancam dengan senjata oleh seorang Indonesia ketika ia
memotret demonstrasi tersebut. Ia kemudia berlari ke dalam gedung untuk
memberitahu Ortiz Sanz, tetapi Ortiz Sanz menolak untuk campur tangan.82
Pada
tanggal 31 Juli, pertemuan Biak mengikuti pola yang sama. Namun, dalam pada
itu, banyak orang Papua di pulau itu sementara berada di penjara. Mereka
ditahan hanya beberapa saat sebelumnya, karena dikuatirkan oleh para penguasa
bahwa mereka akan mengganggu pertemuan tersebut.83
Pada
tanggal 2 Agustus, dengan makanan, minuman dan lagu-lagu, pertemuan yang
terakhir berlangsung di Jayapura.84 Untuk merayakannya, berbagai pejabat dan
militer Indonesia berparade dengan dipanggul oleh kelompok-kelompok orang
Papua. Suatu pertunjukan hambar yang mempertontonkan kemenangan yang telah
disiapkan sebelumnya.85
Dengan
sampainya tahap terakhir, Jakarta mengumumkan bahwa hasil akhir yang sah dari
penentuan nasib sendiri, sesuai dengan Persetujuan New York, adalah bahwa
seluruh orang Papua telah memutuskan untuk tetap bergabung dengan Indonesia.
13. Sesudahnya
Pada tanggal 17 Juli 1969,
seorang diplomat Inggris yang tergabung dalam misi Inggris ke PBB menyimpulkan
pendapat internasional tentang pemenuhan hak penentuan nasib sendiri di Papua.
Ia menegaskan bahwa walaupun sejumlah negara Afrika tidak puas dengan
pelaksanaan hak-hak penentuan nasib sendiri itu, tetapi
… [K]esan kuat kami
adalah bahwa mayoritas anggota PBB ingin agar persoalan ini diselesaikan dengan
sesedikit mungkin perdebatan dan dalam waktu yang sesegera mungkin …
Negara-negara Arab dan Islam pasti akan dengan kuat mendukung Indonesia.
Bahkan, menurut Belanda, adanya pengakuan negara-negara Skandinavia yang
moralistis, mengakibatkan tidak ada alternatif lain selain pemerintahan
Indonesia. Akhirnya, Sekretariat PBB, yang sesungguhnya berpengaruh penting,
tampak hanya ingin menyelesaikan persoalan itu dengan segera dan semulus
mungkin.86
Tiga
bulan kemudian, pada November 1969, laporan akhir Ortiz Sanz disampaikan dalam
persidangan Majelis Umum PBB. Dalam kesimpulannya ia menyampaikan kekuatirannya
bahwa kebebasan politik sebagaimana yang dijamin oleh penentuan nasib sendiri
tidak terpenuhi. Ia juga mengaku bahwa “elemen-elemen tertentu” penduduk Papua
menginginkan kemerdekaan. Tetapi, ia menyatakan bahwa, “dengan
keterbatasanketerbatasan seperti yang ada di Guam; yang dipaksakan oleh
sifat-sifat geografis dan situasi pada umumnya di wilayah tersebut, suatu
tindakan penentuan nasib sendiri telah dilaksanakan di Irian Barat menurut cara
Indonesia di mana wakil-wakil rakyat telah menunjukkan keinginan mereka untuk
tetap bergabung dengan Indonesia.”87
Secara teknis,
pernyataan ini akurat, apabila yang dimaksudkannya dengan “cara Indonesia”
adalah bahwa proses penentuan nasib sendiri itu tidak memiliki kandungan
demokrasi yang jujur. Tetapi Persetujuan New York dengan tegas menyatakan bahwa
penentuan nasib sendiri orang-orang Papua harus dilakukan sejalan dengan
“cara-cara internasioinal.”
Ghana
dan beberapa negara Afrika pada pertemuan November mencela pelaksanaan
penentuan nasib sendiri itu karena tidak demokratis. Mereka juga mendesak
supaya penentuan nasib sendiri yang sebenarnya dilakukan di wilayah tersebut
pada tahun 1975 dengan alasan Persetujuan New York tidak dilaksanakan dengan
sebenarnya. Tetapi, amandemen terhadap resolusi utama mengenai Irian ini
dikalahkan dengan suara 60 melawan 15 dengan 39 abstain.
Pada
akhirnya, dengan pemungutan suara 84 melawan nol, dengan 30 abstain, Majelis
Umum PBB hanya “memperhatikan” laporan Sekretaris Jenderal dan laporan-laporan
Ortiz Sanz.88
14. Kesimpulan
Apakah
orang-orang Papua semestinya memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri adalah
suatu persoalan yang bisa dihadapi dengan argumen-argumen pro dan kontra.
Sebagaimana yang dicatat oleh Henderson pada tahun 1973, banyak negara merdeka
yang memiliki kelompok-kelompok
minoritas yang juga memiliki aspirasi untuk merdeka. Tetapi apabila separatisme
seperti itu didorong, hal tersebut dapat: mengakibatkan bubarnya negara-negara
yang terdiri dari berbagai kompleks-etnis yang klaim kesatuannya berasal dari
mandat kolonial. Konsekuensinya bagi stabilitas sistem internasional bisa saja
di luar perhitungan.89
Di
lain pihak, Mullerson, yang menulis tentang negara-negara multi-etnis,
memberikan komentar: apabila kaum minoritas didiskriminasi, atau identitas
mereka terancam oleh kebijakan mayoritas … kaum minoritas itu tidak dapat
berpartisipasi bersama-sama dengan seluruh penduduk dalam suatu proses
penentuan nasib sendiri yang terus berlangsung.
Hal
ini berarti bahwa kaum minoritas tidak dapat melaksanakan hak penentuan nasib
sendiri itu dalam masyarakat secara keseluruhan, bersama-sama dengan seluruh
penduduk, tetapi secara terpisah.90 Akhirnya, sebagai tanggapan terhadap usaha
U Thant untuk mengetahui aspek-aspek hukum orang-orang Papua untuk menentukan
nasib sendiri, penasehat hukum PBB memberikan jawaban pada bulan Juni 1962
sebagai berikut: sejak Presiden Wilson memperkenalkan prinsip penentuan nasib
sendiri pada tahun 1918, tampaknya telah tumbuh suatu pemahaman yang kuat yang
mendukung pelaksanaan penentuan nasib sendiri penduduk yang memiliki keadaan
seperti di New Guinea Barat atas dasar keinginan masyarakat di wilayah
tersebut, yang tidak tergantung pada pertimbangan hukum atau kepentingan
pihak-pihak lain yang terkait dengan persoalan tersebut. Walaupun
faktor-faktor lain dapat diperhitungkan, tetapi telah semakin tumbuh adanya
pengakuan bahwa keinginan masyarakat setempat haruslah lebih penting dari
hal-hal yang lain.91
Tujuan
tulisan ini tidak untuk mendiskusikan legitimasi penentuan nasib sendiri
orang-orang Papua, karena hak ini telah diakui secara jelas oleh Belanda dan
Indonesia ketika mereka menandatangani persetujuan New York pada tahun 1962.
Lebih dari itu, dengan bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan persetujuan
ini, Sekretariat PBB mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa
persetujuan tersebut dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Sebaliknya, maksud saya
adalah untuk mengetahui apakah persetujuan tersebut telah dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan, yang kedua, untuk mengevaluasi peranan PBB dalam
implementasi persetujuan tersebut.
Saya
menegaskan, bahwa jawaban terhadap bagian pertama tesebut di atas tidak
membutuhkan suatu studi mendalam mengenai topik dimaksud agar sampai pada suatu
kesimpulan yang akurat. Yang perlu dilakukan hanyalah suatu evaluasi umum
terhadap laporan-laporan resmi bulan November 1969, untuk sampai pada
kesimpulan bahwa persetujuan New York tidak dipenuhi.
Persetujuan
New York mengatur bahwa Belanda, Indonesia dan PBB berkewajiban untuk
melindungi hak-hak politik dan kebebasan orangorang Papua, dan untuk memastikan
bahwa suatu tindakan penentuan nasib sendiri
dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional. Untuk kedua hal ini,
ketiga pihak tersebut di atas telah gagal, dan hal itu dilakukan secara sengaja
karena penentuan nasib sendiri yang sebenarnya tidak pernah dilihat sebagai
opsi oleh ketiga pihak tersebut ketika persetujuan New York ditandatangani.
Mengenai
peranan PBB dalam implementasi persetujuan tersebut, jelas bahwa prioritas
sekretariat PBB sepanjang pelaksanaan proses penentuan nasib sendiri adalah
memastikan New Guinea Barat menjadi bagian Indonesia yang diakui dengan
kontroversi dan gangguan sekecil-kecilnya. Ini adalah tugas yang diberikan
kepada organisasi tersebut oleh Amerika Serikat pada tahun 1962, dan U Thant
tidak melihat alasan untuk tidak melaksanakan tugas tersebut. Itu adalah
politik perang dingin, dan hak-hak orang Papua dianggap tidak ada sama sekali.
Bahkan akan luar biasa apabila yang terjadi adalah sebaliknya.
Untuk
melaksanakan tugasnya, Sekretariat PBB mentoleransi intervensi dan intimidasi
yang dilakukan oleh Indonesia terhadap penduduk Irian Barat selama masa
pemerintahan sementara PBB di wilayah tersebut. Tidak berapa lama kemudian, PBB
bekerjasama dengan Belanda dan Indonesia. Mereka secara diam-diam bersepakat
untuk tidak menggunakan sistem pemilihan langsung sebagai cara penentuan nasib
sendiri. Dalam tahun-tahun menjelang pelaksanaan penentuan nasib sendiri,
tujuan Sekretariat PBB adalah untuk meminimalkan potensi kritik internasional
dengan memastikan bahwa di permukaan cukup terlihat partisipasi orang-orang
Papua secara benar, tetapi pada saat yang sama PBB berusaha untuk memperoleh
hasil sebagaimana yang diinginkannya.
Untuk
mencapai hal ini, PBB menyampaikan sejumlah saran ke Jakarta. “Metoda campuran”
yang diajukan oleh Ortiz Sanz adalah salah satu contoh (sebagaimana yang
disampaikan sebelumnya, tidak jelas dari mana sebenarnya asal metoda ini;
mungkin metoda ini berasal dari Ortiz Sanz, mungkin juga tidak). Contoh lain
adalah upaya PBB untuk memastikan bahwa ada beberapa orang Papua terlibat
berpartisipasi dalam proses pemilihan tambahan anggota Dewan Musyawarah. Baik U
Thant maupun Ortiz Sanz menyampaikan secara pribadi dan terbuka bahwa ada
dimensi demokrasi dalam pemilihan ini.
Dalam
laporan akhir Sekretaris Jenderal disampaikan panjang lebar tentang kesediaan
Jakarta untuk melaksanakan pemilihan-pemilihan baru di beberapa tempat di mana
tidak ada pejabat PBB yang hadir sebelumnya. Dalam kenyataannya, hal ini tidak
lebih dari sekedar basa-basi, dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada partisipasi
masyarakat yang sebenarnya dalam proses seleksi ini. Pada akhirnya, keputusan
bulat 1.022 anggota untuk tetap bersatu dengan Indonesia adalah suatu ejekan
terhadap upaya-upaya PBB, walaupun Rolz-Bennett, menurut Markin, di bagian
akhir telah berusaha secara rahasia untuk meminta Jakarta agar juga mencatat
pilihanpilihan yang menolak “dalam rangka memberikan semacam legitimasi
terhadap hasil yang dicapai tersebut.”92
Selain itu bisa juga dikatakan bahwa kurangnya perhatian internasional
terhadap pelaksanaan penentuan nasib sendiri itu mengakibatkan kegagalan
tersebut menjadi tidak relevan pada masa itu.
Sesudah
menyadari bahwa Indonesia akan mengabaikan rekomendasi-rekomendasi yang
diberikannya, PBB memutuskan untuk bekerjasama dengan Jakarta menghentikan
kritik internasional terhadap penanganan referendum di Irian Barat. Dalam upaya
ini, Indonesia dan PBB dibantu oleh negara-negara lain termasuk Belanda,
Australia dan Inggris. Negaranegara ini secara diam-diam melobi negara-negara
lain, terutama negara-negara yang diduga akan mencela hasil penentuan nasib
sendiri itu. Lebih jauh, Ortiz Sanz menyatakan dalam laporannya di Majelis Umum
PBB bahwa mayoritas petisi yang ia terima dari orang-orang Papua adalah pro-Indonesia;
ia menekankan hal ini, walaupun ia seharusnya tahu bahwa laporannya itu tidak
benar.
Pada
akhirnya, dapat dikatakan bahwa tugas Ortiz Sanz tersebut di atas tidak
memperoleh rasa terima kasih dari siapa pun, karena ia dituduh oleh pers
Indonesia sebagai seorang yang bersimpati kepada orang-orang Papua, namun
dikritik oleh sejumlah diplomat Barat bahwa ia lunak dalam membela orang-orang
Papua. Walaupun begitu, sampai hari ini ia tetap pada pendiriannya bahwa metoda
yang digunakan pada saat itu adalah metoda demokrasi yang paling tepat karena
berbagai keadaan, dan bahwa hasil akhir yang dicapai adalah “bijaksana dan
tepat keputusannya.”93
Sebagai kesimpulan, PBB
adalah partisipan aktif dalam upaya sistematis pengabaian Persetujuan New York,
tetapi inisiatif itu berasal dari, dan tindakan-tindakan PBB itu didukung oleh,
Washington, Jakarta dan Den Haag. Dengan berperan seperti itu, U Thant dan
Sekretariat PBB sesungguhnya membiarkan PBB terlibat dalam suatu proses yang
tidak jujur yang secara sengaja mengingkari hak-hak politik dan hak-hak asasi
manusia orang-orang Papua.
Pada
tanggal 10 Desember 1999, Menteri Luar Negeri Belanda Van Aarston mengumumkan
bahwa ia akan memulai suatu penilaian kembali sejarah terhadap keadaan-keadaan
yang melingkupi pelaksanaan penentuan nasib sendiri orang-orang Papua pada
waktu itu. Van Middelkoop, anggota parlemen yang berada di belakang usulan
tersebut, menjawab “… akhirnya kita bisa menatap mata orang-orang Papua.”94
Masih harus dilihat apakah PBB akan setuju bergabung dengan Belanda untuk
kembali ke episode masa lalu ini.
_____________________ T A M A T _______________________
Post,( Yerino Madai)
0 comments:
Post a Comment