
Kelak di kemudian hari, Bakhita
menggambarkan sebagian dari kengerian yang dialaminya selama masa
perbudakan. “Suatu hari saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan
yang menyebabkan amarah putera majikan. Ia menjadi sangat berang. Ia
merenggut saya dengan kasar dari tempat persembunyian saya dan mulai
menghujani tubuh saya dengan cambuk dan tendangan kakinya. Akhirnya ia
meninggalkan saya dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak sadarkan
diri. Beberapa budak menggotong saya dan membaringkan saya di atas
tikar. Di sanalah saya terbaring selama lebih dari satu bulan.”
Selanjutnya Bakhita dijual
kepada seorang jenderal Turki. Setiap hari nyonyanya menghukum Bakhita
dengan lecutan cambuk dan pukulan-pukulan. Pada usia 13 tahun, Bakhita
mengalami siksaan tatto yang mengerikan. “Seorang wanita yang terampil
dalam seni tatto datang ke rumah jenderal ….nyonya kami berdiri di
belakang kami dengan cemeti di tangan. Wanita itu membawa sepiring
tepung putih, sepiring garam dan sebuah pisau cukur… Ketika ia selesai
membuat gambar-gambar, wanita itu mengambil pisau cukur dan
menorehkannya disepanjang garis-garis gambar. Garam ditaburkan di setiap
luka….Wajah saya dikecualikan, tetapi 6 gambar dilukis di payudara
saya, dan lebih dari 60 gambar di perut dan tangan saya. Saya pikir saya
akan segera mati, terutama ketika garam ditaburkan ke dalam luka-luka
saya….hanya karena mukjizat Tuhan sajalah, saya tidak mati. Ia
mempersiapkan saya untuk hal-hal yang lebih baik.
Pada tahun 1883, di ibukota
Sudan, Bakhita dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto
Legnani. Untuk pertama kalinya sejak ia diculik, Bakhita dengan gembira
menyadari bahwa tidak seorang pun menggunakan cambuk ketika memberikan
perintah kepadanya; malahan sebaliknya ia diperlakukan dengan hangat dan
ramah. Di rumah Tuan Legnani, Bakhita merasakan damai, kehangatan dan
sukacita, meskipun kadang-kadang muncul kembali ingatan akan keluarganya
yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Tahun 1885, situasi
politik menyebabkan Tuan Legnani harus kembali ke Italia. Bakhita diajak
ikut serta dan tinggal bersama Tuan Legnani serta seorang temannya,
Tuan Augusto Michieli.
Setibanya di Genoa, Tuan Legnani
atas desakan isteri Tuan Michieli, setuju untuk meninggalkan Bakhita
bersama mereka. Ia mengikuti “keluarga” barunya ke Zianigo. Ketika lahir
Mimmina, puteri keluarga Michieli, Bakhita menjadi pengasuh dan
temannya.
Pada tahun 1888, Nyonya Michieli
pindah ke Suakin, dekat Laut Merah untuk membantu pekerjaan suaminya.
Mimmina dan Bakhita tetap di Italia, mereka tinggal di asrama yang
dikelola oleh Suster-suster Canossian dari Institut Katekumen di Venice.
Di sanalah Bakhita mengenal
Tuhan yang “ada dihatinya tanpa ia ketahui siapa Ia sebenarnya” Sejak
masih kanak-kanak Bakhita sering bertanya-tanya: “Melihat matahari,
bulan dan bintang-bintang, saya bertanya kepada diri sendiri `Siapakah
gerangan Tuan atas semesta yang indah ini?' Saya merasakan suatu
keinginan yang amat kuat untuk berjumpa dengan-Nya, mengenal-Nya dan
menyembah-Nya."
Pada tanggal 9 Januari 1890,
Bakhita menerima sakramen inisiasi dan memperoleh nama baru: Yosefina.
Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Matanya
yang bulat bersinar-sinar, menunjukkan sukacita yang amat mendalam.
Sejak hari itu ia sering terlihat mencium bejana baptis sambil berkata:
“Di sinilah, aku menjadi anak Allah!” Dengan bertambahnya hari, Bakhita
semakin mengenal siapa itu Tuhan yang ia kenal dan ia kasihi, yang
membimbingnya kepada-Nya melalui cara-Nya yang misterius, Ia yang
senantiasa menggenggam tangannya.
Ketika Nyonya Michieli kembali
dari Afrika untuk menjemput Mimmina dan Bakhita, Bakhita dengan tegas
dan penuh keyakinan (belum pernah ia bersikap demikian sebelumnya)
menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal bersama Suster-suster
Canossian dan melayani Tuhan yang telah membuktikan begitu besar
cinta-Nya kepadanya.
Pelan tapi pasti, Bakhita
merasakan panggilan untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Oleh
karena itu, pada tahun 1893 ia masuk Institut St. Magdalena dari Canossa
di Venisia, Italia. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 8 Desember 1896,
Sr. Bakhita mengucapkan kaulnya kepada Tuhan yang biasa ia sapa dengan
sapaan manis “Tuan!”
Selama lima puluh tahun kemudian
Sr. Bakhita tinggal bersama komunitasnya di Schio, Italia. Ia melakukan
pekerjaan sehari-hari, seperti memasak, menjahit, merenda dan
membukakan pintu. Jika sedang bertugas menjaga pintu, Sr. Bakhita akan
dengan lembut menumpangkan tangannya yang hitam itu ke atas kepala
anak-anak yang setiap hari datang untuk belajar di Sekolah Canossian dan
mencurahkan perhatiannya kepada mereka. Karena kulitnya yang hitam
legam, semua orang lebih suka memanggilnya “Mama Moretta” (Mama Hitam)
Suaranya yang hangat, dengan
nada dan irama lagu daerah asalnya, menyenangkan hati anak-anak,
menghibur mereka yang miskin dan menderita serta membesarkan hati mereka
yang datang mengetuk pintu Institut.
Kerendahan
hatinya, kesederhanaannya dan senyumnya yang senantiasa menghiasi
wajahnya, membuat semua orang suka kepadanya. Saudari-saudarinya dalam
komunitas mengaguminya karena sikapnya yang menyenangkan, kebaikan
hatinya dan keinginannya yang kuat agar Tuhan semakin dikenal dan
dikasihi.
Setelah biografinya diterbitkan
pada tahun 1930, Sr. Bakhita menjadi terkenal - ia sering diundang untuk
menjadi pembicara dan mengumpulkan dana untuk karya cinta kasih.
Usianya semakin bertambah dan tubuhnya semakin melemah. Penyakit yang
hebat mendera tubuhnya dan Sr. Bakhita pun harus tinggal di atas kursi
roda. Kepada mereka yang menjenguknya serta menanyakan keadaannya,
dengan tersenyum ia menjawab: “Seturut kehendak Tuan-ku”.
Dalam penderitaannya yang hebat
itu, seolah-olah Sr. Bakhita mengalami kembali masa-masa perbudakannya
yang mengerikan. Lebih dari sekali ia memohon kepada perawat yang
menjaganya: “Aku mohon, longgarkanlah rantainya…….rantai ini sungguh
berat!”. Bunda Marialah yang datang membebaskannya dari penderitaannya.
Menjelang ajal, Bakhita berseru: “Bunda Maria! Bunda Maria!” dan senyum
di wajahnya menjadi bukti bahwa jiwanyapun telah berjumpa dengan Bunda
Allah.
Sr. Bakhita menghembuskan napas
terakhir pada tanggal 8 Februari 1947 di Biara Canossian di Schio,
didampingi oleh saudari-saudarinya yang berada di sekeliling
pembaringannya. Jenazahnya disemayamkan di biara selama tiga hari. Orang
banyak yang segera berdatangan takjub melihat tubuhnya yang tetap lemas
dan tidak kaku. Para ibu mengangkat tangan Bakhita dan meletakkannya
ke atas kepala anak-anak mereka, memohon berkat darinya.
Setelah wafatnya, banyak rahmat
dan mukjizat terjadi. Berita tentang kekudusannya tersebar ke semua
benua. Ratusan surat diterima dari banyak orang yang doanya dikabulkan
dengan memohon bantuan doa St. Bakhita.
Yosefina
Bakhita dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 17 Mei
1992 dan dikanonisari pada tanggal 1 Oktober 2000 oleh Paus yang sama.
Hingga saat ini, St. Yosefina Bakhita adalah satu-satunya santa yang
berasal dari Sudan. Pestanya dirayakan pada tanggal 17 Mei.
"Bersoraklah, seluruh
Afrika! Bakhita telah kembali kepadamu: seorang puteri Sudan, yang
diperdagangkan dalam perbudakan seperti sebuah barang, namun tetap
bebas: bebas dengan kebebasan para kudus." ~ Paus Yohanes Paulus II
NASEHAT-NASEHAT ROHANI ST. BAKHITA
Jadilah
orang baik, kasihilah Tuhanmu, berdoalah bagi mereka yang belum
mengenal Dia. Sungguh suatu rakhmat yang luar biasa dapat mengenal
Tuhan!
Aku telah menyerahkan
segala-galanya kepada Tuan-ku. Ia akan memelihara aku…. Yang terbaik
bagi kita ialah bukan apa yang kita pikir terbaik, tetapi apa yang Tuhan
inginkan bagi kita!
Aku menerima Sakramen Baptis dengan sukacita yang sedemikian besar hingga hanya para malaikat saja yang dapat melukiskannya ….
O, Tuhan, jika saja aku dapat
terbang kepada orang-orangku dan dengan suara lantang menceriterakan
kepada mereka tentang segala kebaikan-Mu: oh, betapa banyak jiwa-jiwa
yang akan diselamatkan!
Seandainya
saja aku bertemu dengan para pedagang budak yang menculikku dan bahkan
dengan mereka yang menyiksaku, aku akan berlutut dan mencium tangan
mereka, karena jika semuanya itu tidak terjadi, aku tidak akan menjadi
seorang Kristen seperti sekarang ini….
Tuhan telah begitu mengasihiku; kita harus mengasihi semua orang….kita harus penuh belas kasih!
Dengan
sejujurnya aku berkata bahwa sungguh merupakan suatu mukjizat aku tidak
mati, karena Tuhan telah menetukanku untuk hal-hal yang lebih besar….
Bunda Maria melindungiku bahkan sebelum aku mengenalnya!
Jika
seseorang sangat mengasihi seorang yang lain, ia akan berusaha untuk
selalu dekat dengan orang yang dikasihinya itu. Jadi, mengapakah harus
takut mati? Kematian membawa kita kepada Tuhan! Yegema
0 comments:
Post a Comment