Hari senin saya berjalan melangkah di kecamatan tadi yaitu Waghete sekarang ibukota kabupaten Deiyai.
Saya
pergi ke sekolah pagi-pagi dan hari itu pula hari pasar yang penuh
dengan masyarakat pedalam paniai sebagian meuwodide. Warga dari
berbagai kampung seperti distrik Tigi Timur diantaranya Kampung
Dagokebo, Udaugi, Watiyai, Dama dan sekitarnya, Disrtik Tigi Barat
Diyai, Yipai, Onago, Wagomanim, Debei, dan sekiratnya, Disrtik Tigi
Utara kogemani, Tenedagi dan kampong sekitarnya, Distrik Tigi Selatan
Okomokebo, Meiyepa, Diyo dan sekitarnya berkumpul di perempatan jalan
dekat bandara Waghete. Mama-mama menggelar dagangan mereka umumnya Sayur
dan Ubi-ubian, diatas tanah.
Para bapak dan pemuda berkumpul ditanah lapang didepan deretan kios
yang ada di sisi barat pasar. Sebagaian dari mereka membawa Koteka dan Rokok Tradisional yang disebut dengan Tawa untuk di jual di pasar Wanghete. seperti biasa diantara mereka juga ada yang hendak menjual Uka dan Mapega, Busur dan Anak Panahnya. Meksi
seder hana, dua karya budaya itu indah. Salah satunya jenis kayu yang
istimewa itu dibalut kulit batang anggrek yang berwarna kuning.
busurnya yang terbuat kayu pohon palem hutan tampak kokoh.
Beberapa bapak mencoba manawar dengan harga pantas. iya ingin mengganti
miliknya yang telah lapuk. bapak itu iya ingin berburu kuskus saat
terang bulan nanti tiba. Namu iya hendak mengaitkan tali busur yang
terbuat dari tali Rotan (Edu)
dan mencoba kelenturan busur tersebut, tiba-tiba TNI yang ada didepan
kios dan sejak pagi berjaga-jaga segerah melarangnya sampai alat
tradisional itu mematahkan empat bagian dan busur yang dipegang pun
mematahkan empat bagian.
Kata pemuda itu, “kami
tidak pernah mempermasalahkan tentara yang selalu berjaga-jaga di pasar
tetapi busir sebagian budaya dari saya sebagai bangsa papua barat
membuat meremehkan dan membuat tidak sadar diatas tanah dan budaya ini”.
Kami tidak hendak menyerang siapa pun, melalui uka dan mapega.
Uka dan mapega adalah bagian dari buadaya kami teriak lanjutannya.
Sungguh menyidihkan, ketika simbol-simbol budaya yang merupakan bagian
integral buah pradaban sebuah suku, dinilai sebagai symbol-simbol
perlawanan, itu tentu menyakitkan. Tidak mengherankan jika kemudian
dalam gumam warga mulai mempersoalkan, mengapa kota sekecil Wagete, yang
penghuninya tidak genap 1000 orang itu ada 3 pos aparat keamanan, itu
melihat pada saat saya berada SMP Wanghete, tetapi sekarang tidak tahu
musti lebih dari itu karen Wanghete sekarang sebagai sebuah ibukota
Kabupaten Deiyai.
Selain Polsek dan Koramil, di Wanghete juga ada pos yang ditempati Tim
Khusus dari Batalyon 753 Arvita. Yang warga ketahui Waghete, dianggap
daerah merah, karena sering menjadi perlintasan kelompok organisasi
papua merdeka (OPM).
Padahal mereka sendiri tidak tahu yang disebuat OPM itu sebenarnya
siapa? “ Kata mereka kami hanya tahu berkebun dan memiara ternak.”
Karena dianggapnya daerah merah itu pula, setiap hari pasar yang jatuh
pada senin, Rabu, dan Jumat, tentara dengan bersenjata lengkap tampak
berjaga-jaga di sudut-sudut pasar dan memantau gerak gerik warga di
distrik kabupaten Deiyai.
Pengalaman masa lalu masyarakat pedalam terhadap sikap represi aparat
keamanan dan absennya pelayanan publiK tampaknya berdampak besar pada
rasa perasaan warga asli terhadap pemerintah. Semua prilaku TNI/ aparat
tadi tidak jauh berbeda dengan berbagai daearah di Papua Barat, sungguh
aneh perbuatan Aparat Keamanan. (Yegema).
0 comments:
Post a Comment